Upacara Rowah Wulan dan Sampek Jum’at Lombok

ImageRamadhan merupakan bulan istimewa. Bak seorang tamu agung dan suci, Ramadan selalu disambut penuh antusias oleh umat Muslim. Masyarakat di berbagai daerah memiliki cara-cara yang berbeda untuk menyambutnya. Perbedaan cara tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan latar belakang sejarah yang menyertai masyarakat serta, secara khusus, persepsi dan pengharapan terhadap bulan Ramadhan itu sendiri. Karena prosesnya berlangsung sejak lama dan bersifat turun-temurun, maka formalisasi cara-cara tersebut menjadikannya sebagai sebuah tradisi.
Salah satu tradisi penyambutan bulan Ramadhan yang dianggap khas bisa terlihat dari upacara yang dilakukan oleh orang-orang Sasak golongan Wetu Telu di Lombok, Indonesia. Sejak sebulan sebelum bulan Ramadhan, penganut Wetu Telu mengadakan rowah wulan dan sampek jumat sebagai bentuk penyambutan dan pemuliaan bulan Ramadhan, walaupun penganut Wetu Telu tidak berpuasa selama satu bulan penuh. Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya‘ban sedangkan Sampek Jumat pada Jumat terakhir bulan Sya‘ban atau disebut Jum‘at penutup.
Walaupun penganut Wetu Telu tidak berpuasa selama satu bulan penuh karena pemahaman yang berbeda terhadap bulan Ramadhan dan juga karena pengaruh adat istiadatnya seperti kebiasaan memamah sirih pada pagi, siang, ataupun sore hari, tetapi ketika bulan puasa menjelang, mereka menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan Ramadhan. Penganut Wetu Telu diminta untuk menunda semua upacara (ritus) peralihan individu (begawe) seperti nguringsang (pemotongan rambut), nyunatang (khitan), dan ngawinang (perkawinan) karena perayaan tersebut akan merusak kesucian bulan Ramadhan. Bahkan jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia, keluarganya harus menyelenggarakan upacara kematian secara sederhana dan menangguhkan upacara pasca kematian sesudah bulan Ramadhan.
Dalam menentukan kapan waktu pelaksanaan upacara, penganut Wetu Telu menggunakan neptu (perhitungan tradisional). Penggunaan neptu sebagai penentu pelaksanaan upacara menunjukkan bahwa setiap kelompok mempunyai cara-cara dan logika tersendiri kapan melaksanakan upacara.

Sumber :: wisata Indonesia

Category:

2 komentar:

Cheng Prudjung mengatakan...

Salam...

mari ke mari, jalan2 ke central blog nya teman2 sekelas,
 lebh mudh mengunjungi blog teman2 yg lain..

ditunggu kunjungannya ::
http://ikom7.blogspot.com

tengkyu

DHini PaRamita Sari mengatakan...

follow blog saya juga ceng . dindhini.blogspot.com . suwun ^^

Posting Komentar